Billy N.


Meningkatkan Mutu Pemeriksaan Kesehatan di Indonesia

Meningkatkan Mutu Pemeriksaan Kesehatan di Indonesia
Billy N.S. <billy@hukum-kesehatan.web.id>
Dokter, Tinggal di Jakarta

Pada 2 Mei 2012, mantan menteri kesehatan Ibu Dr.dr. Endang Rahayu Sedyaningsih (ERS) meninggal dunia & meninggalkan duka bagi dunia kesehatan Indonesia. Namun, kepergiannya juga meninggalkan tanda tanya yang besar & pelajaran berharga bagi kita, yaitu mengenai mutu pemeriksaan kesehatan (diagnostik) di Indonesia. Seperti diberitakan, Ibu ERS meninggal karena kanker paru stadium 4 atau akhir/lanjut, sementara pada akhir 2009 semua calon menteri mengikuti pemeriksaan kesehatan. Bahkan dikabarkan Ibu ERS melakukan pemeriksaan kesehatan setiap 1-2 tahun sebagai pejabat di kementerian kesehatan. Pada tiap pemeriksaan kesehatan tersebut, Ibu ERS dinyatakan sehat oleh tim dokter & baru pada Oktober 2010 ditemukan kanker paru saat pemeriksaan kesehatan rutin.
Pemeriksaan kesehatan atau biasa disebut medical check up (MCU) tergolong pemeriksaan yang biasanya dilakukan pada saat sebelum bekerja/menjabat & rutin/berkala pada mereka yang berisiko tinggi. Masyarakat pun banyak yang dengan kesadaran pribadi atau karena mengikuti asuransi kesehatan lalu melakukan MCU dengan biaya sendiri di dalam & luar negeri sehingga ini menjadi peluang bisnis & banyak dipromosikan oleh berbagai sarana pelayanan kesehatan. MCU menjadi industri dengan perputaran uang triliunan rupiah setiap tahunnya. Dari karyawan, PNS, calon TKI, masyarakat, sampai anggota legislatif & pejabat tinggi negara melakukan MCU, baik sesekali maupun rutin dengan biaya sendiri, perusahaan, atau negara. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk deteksi dini penyakit sehingga bisa dicegah & diobati lebih awal sehingga kerugian yang ditimbulkan lebih sedikit atau terhindar dari mempekerjakan orang yang memiliki masalah kesehatan.
Dalam kasus Ibu ERS, mengapa penyakitnya tidak terdeteksi ketika MCU tahun 2009? Padahal penyakit kanker bukan sesuatu yang tiba-tiba ada, tetapi penyakit menahun yang terus membesar atau bertambah parah. Apalagi kanker paru bisa terlihat atau dicurigai dari hasil foto rontgen dada yang biasanya dilakukan ketika MCU. Alat rontgen merupakan peralatan yang sangat umum ada di rumah sakit, laboratorium klinik, bahkan sampai banyak puskesmas di seluruh Indonesia. Kecurigaan akan adanya mutu pemeriksaan yang kurang baik menjadi besar, padahal tanpa pemeriksaan yang baik tidak mungkin bisa melakukan pengobatan dengan tepat/benar. Bisa dibayangkan jika mutu pemeriksaan bagi seorang calon pejabat tinggi negara seperti ini, bagaimana dengan mutu pemeriksaan bagi rakyat miskin? Untuk pemeriksaan yang sangat banyak dilakukan pun kurang teliti, bagaimana dengan yang jarang dilakukan?
Ada beberapa hal yang biasanya diabaikan di negara kita sehingga mutu pemeriksaan kita menjadi kurang baik. Dari mulai pemeriksa yang abai terhadap prosedur kerja atau menganggap enteng, sehingga banyak yang tidak diperiksa dengan teliti bahkan dilewatkan & dianggap normal. Peralatan untuk pemeriksaan yang tidak dirawat & digunakan dengan baik/tepat sehingga nilai mutu hasil pemeriksaan yang dihasilkan berkurang. Selain itu, menemukan penyakit yang masih tahap awal pada mereka yang merasa/terlihat sehat membutuhkan ketelitian lebih tinggi, bukan sekadar dikerjakan seperti pada mereka yang sudah jelas sakit.
Sebagai contoh, pada foto rontgen dada yang menggunakan komputer, operator dapat menyunting kecerahan & ketajaman gambar yang dihasilkan jika foto terlihat kurang bagus akibat setelan alat yang kurang tepat. Padahal kegiatan penyuntingan ini tidak dapat memperbaiki kesalahan pengambilan gambar yang dilakukan & seharusnya diulang. Apa yang seharusnya terlihat jika setelan alat benar menjadi tidak terlihat walaupun sudah disunting. Hasil foto rontgen itu yang seharusnya dibaca langsung oleh dokter di layar ber-resolusi tinggi, tetapi dicetak di media ber-resolusi rendah & ukurannya dibuat lebih kecil agar menekan biaya. Ini mengakibatkan banyak detil gambar yang hilang untuk bisa dipelajari oleh dokter untuk penentuan diagnosis. Banyak peralatan untuk pemeriksaan sering digunakan jauh melebihi batas penggunaan maksimalnya walaupun belum rusak, sehingga mutu pemeriksaan yang dihasilkan menurun. Peralatan untuk pemeriksaan pun seharusnya dilakukan kalibrasi rutin setiap akan digunakan.
Dari segi kebijakan pemerintah, belum ada standar yang ditetapkan untuk mutu peralatan, standar perawatan peralatan, penjaminan mutu hasil pemeriksaan, sampai kalibrasinya. Yang dilakukan selama ini hanya pemeriksaan berkas semata & reaktif ketika ada masalah. Merek peralatan atau nama sarana pelayanan kesehatan yang terkenal, berbagai sertifikasi, atau kecanggihan & harga peralatan untuk pemeriksaan yang mahal tidak menjamin mutu hasil pemeriksaan. Seharusnya pemerintah memeriksa langsung secara rutin semua mutu hasil pemeriksaan demi perlindungan masyarakat.
Dengan kondisi seperti ini, maka bisa dikatakan bahwa pemeriksaan kesehatan yang dilakukan selama ini tidak lebih dari sekadar formalitas atau kegiatan mencari laba dengan relevansi bagi kesehatan masyarakat yang tidak sesuai harapan walau sudah mengeluarkan biaya besar. Semoga ini pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua & menjadi momentum perbaikan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia yang melindungi masyarakat & mampu bersaing secara global.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id


Pelajaran dari Kasus Ibu ERS: Perbaiki Kualitas Diagnostik

Bu ERS sudah mengundurkan diri sebagai menkes, sekarang tinggal kita tunggu siapa yang akan ditunjuk sebagai penggantinya sambil berharap Bu ERS bisa kembali pulih. Saya juga secara pribadi berterima kasih atas kerja keras beliau selama ini.
Tentu kasus tidak ada artinya kalau tidak jadi pelajaran untuk perbaikan ke depannya. Dari kasus sakitnya Bu ERS, kita bisa belajar mengenai deteksi dini penyakit yang sebetulnya sudah coba dilakukan melalui medical check up calon menteri, yaitu ternyata kualitas diagnostik (penunjang) kita masih kurang bagus.
Bisa terlihat bahwa perawatan & penggunaan alat kesehatan kita tidak bagus & tidak tepat, sehingga kualitas diagnostik yang dihasilkan alat jadi berkurang.
Contoh aktual dalam kasus Bu ERS. Ini skenario yang mungkin terjadi & pernah saya sampaikan. Foto rontgen toraks yang menggunakan CR/DR (digital/computed radiography) ketika salah dosis bukannya diulang malah di-edit dengan software oleh operator (biasanya radiografer) supaya hasil yang sampai ke dokter pembaca tetap ‘bagus’. Tetap saja apa yang harusnya terlihat kalau diulang dengan dosis tepat jadi tidak terlihat. Ini mungkin yang terjadi pada Bu ERS.
Lalu berikutnya, hasil foto toraks itu yang harusnya dibaca langsung oleh dokter di layar ber-resolusi tinggi, misalnya minimal 5MP, ini malah dicetak. Dicetaknya kalau dengan film khusus, mungkin masih lumayan, tapi ini di plastik biasa yang resolusinya rendah demi menekan biaya, sehingga banyak detil yang hilang. Bisa dibayangkan berapa banyak penurunan kualitas yang terjadi. Memang layar monitor resolusi tinggi sangat mahal, bisa sampai ratusan juta rupiah.
Selain itu, jika memakai CR, kaset CR yang optimalnya dipakai maksimal 1000 kali, mungkin ini dipakai jauh melebihi angka tersebut, tentu jadinya kualitas yang dihasilkan menurun. Belum lagi mengenai alat yang digunakan, seharusnya berdasarkan standar ada kalibrasi rutin setiap akan mulai dipakai (biasa tiap hari), misal menggunakan phantom, dst.
Ini belum menyangkut ke kualitas alat & asesoris yang digunakan. Kalau ini dibahas mungkin lebih panjang lagi, karena belum tentu yang mahal atau terkenal itu pasti bagus kualitas diagnostiknya.
Sepertinya rumit ya? Begitulah kalau kita utamakan kualitas. Karena tanpa diagnostik yang baik, tidak mungkin kita berikan terapi yang benar. Ini baru 1 macam alat, belum alat-alat lain yang berbagai macam, tapi prinsip dasar QC-nya sama saja.
Semoga berguna.

billy[at]hukum-kesehatan.web.id


Tenaga Kesehatan Judes & Sering Telat: Itu Biasa?

Tenaga Kesehatan Judes & Sering Telat: Itu Biasa?
Billy N. <billy@hukum-kesehatan.web.id>

Di beberapa media cetak diberitakan hasil survey yang menunjukkan bahwa para tenaga kesehatan salah satu RSUD di Jabar sering telat datang ke rumah sakit (RS) & judes. Ini menjadi keluhan bagi banyak pasien yang sedang sakit tetapi malah menerima perlakuan yang buruk & tidak bisa cepat ditangani sehingga harus lebih lama lagi menderita. Hal ini bukan hanya dikeluhkan di RS tersebut tetapi menjadi keluhan sehari-hari dari banyak pasien di seluruh Indonesia.
Kasus Prita Mulyasari yang baru saja berlalu menjadi contoh lain dari buruknya hubungan tenaga kesehatan dengan pasien sehingga pasien yang mengeluh & merasa tidak puas atas pelayanan tenaga kesehatan malah berbalik dituntut atas pencemaran nama baik terhadap dokter yang pernah menanganinya.
Dunia pelayanan kesehatan sekarang ini telah berubah menjadi bisnis jasa yang seharusnya mengutamakan kualitas pelayanan, keramahan, & ketepatan termasuk tepat waktu. Namun sepertinya hal ini belum dapat dinikmati masyarakat. Sikap judes yang dirasakan pasien adalah salah satu bukti bahwa komunikasi tidak berjalan dengan baik & menunjukkan bahwa RS yang dalam B.Inggris disebut ‘hospital’ ternyata tidak memiliki ‘hospitality’ (ramah-tamah) bagi para pasien sehingga mereka dapat kembali sehat. Sementara seringnya dokter terlambat datang menunjukkan bahwa dokter kurang menghargai pasien.
Sikap judes & sering telat bukanlah hal yang diajarkan pada para tenaga kesehatan selama mereka kuliah. Ungkapan ‘ramahlah pada pasien karena mereka itu gurumu’ maupun kata-kata ‘banyak pasien bisa meninggal karena telat 5 menit saja’ sering diucapkan oleh para dosen ketika ada mahasiswa yang terlambat datang atau judes pada pasien.
Tidak heran banyak pasien yang mampu secara finansial akhirnya memilih berobat ke luar negeri demi mendapatkan pelayanan kesehatan yang dianggap komunikatif, lebih baik, ramah, & manusiawi. Ada pula yang pergi berobat ke pengobatan non-medis yang tidak rasional & kurang aman. Sayangnya banyak tenaga kesehatan sendiri tidak sadar akan kesalahannya & menyalahkan bahwa pasien banyak berobat ke luar negeri atau ke pengobatan non-medis karena peralatan kedokteran di Indonesia tidak lengkap & kalah canggih.
Sikap judes & sering telat lebih sering dikeluhkan oleh mereka yang berobat ke institusi milik pemerintah yang pelayanannya mayoritas diberikan oleh para pegawai negeri sipil (PNS). Banyak PNS bekerja paruh waktu di institusi swasta yang memberikan imbalan lebih besar sehingga lebih diutamakan lalu datang terlambat ke tempat tugas tetapnya. Seringkali para PNS datang ke tempat tugas tetapnya dengan ‘tenaga sisa’ atau kelelahan setelah bekerja di tempat lain & memberikan pelayanan seadanya yang disebut judes oleh para pasien.
Institusi milik pemerintah dikenal biayanya relatif lebih rendah dibandingkan institusi milik swasta karena tarifnya diatur oleh peraturan daerah (perda) yang relatif pro-rakyat. Sedangkan masyarakat miskin dilayani secara gratis melalui program Jamkesmas. Karena murah atau gratis, banyak tenaga kesehatan yang menggampangkannya & menganggap wajar jika judes atau datang terlambat. Slogan ‘ada uang ada barang’ mungkin dianut oleh para tenaga kesehatan tersebut sehingga jika masyarakat ingin pelayanan yang baik maka harus membayar mahal.
Dengan berbagai faktor tersebut, tetapl tidak ada alasan bagi para tenaga kesehatan untuk menurunkan kualitas pelayanan seperti berlaku judes atau sering datang terlambat. Pelayanan kesehatan memang telah menjadi bisnis jasa, tetapi profesi tenaga kesehatan yang seharusnya luhur & mulia bukanlah bisnis. Harga bukanlah penentu profesionalitas atau kualitas pelayanan tenaga kesehatan. Menurut penelitian, hubungan antara kualitas pelayanan kesehatan dengan mahalnya biaya adalah lemah.
Agar ini tidak terus terjadi, perlu banyak perbaikan mendasar. Mulai dari mentalitas para tenaga kesehatan yang seharusnya memiliki mental melayani & menolong sesuai panggilan profesi. Pemerintah seharusnya mengalokasikan dana untuk memperbaiki kualitas pelayanan & melatih para tenaga kesehatan untuk dapat berkomunikasi dengan baik/efektif yang selama ini belum diberikan, bukan sekadar menambah ilmu pengetahuan & keterampilan dari para tenaga kesehatan saja.
Selain itu perlu dilakukan usaha peningkatan kesejahteraan para tenaga kesehatan yang berdampak langsung pada kualitas pelayanan kesehatan pada masyarakat, bukan hanya banyak menganggarkan pembangunan gedung atau pembelian peralatan canggih yang lebih terkesan kosmetik & tidak berkaitan langsung dengan kualitas pelayanan.
Masyarakat menanti pelayanan kesehatan yang berkualitas & membanggakan dari para tenaga kesehatan Indonesia. Jangan sampai mereka yang sakit akan semakin menderita akibat terlambat ditangani atau diperlakukan kurang ramah. Bagi para tenaga kesehatan, ingatlah tanpa pasien yang menjadi ‘guru’ maka semua tenaga kesehatan tidak akan dapat belajar untuk memperoleh ilmu & keterampilan. ‘Murid’ yang baik akan memperlakukan para ‘guru’-nya dengan hormat.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id